Kamis, 02 Mei 2013

Posted by Moti Peacemaker on 02.34 No comments
Bau menyengat menyergap. Tapi apa masalahnya buatku. Setiap hari limbah pabrik mengotori aliran sungai depan rumah. Tidak hanya limbah pabrik. Bungkus makanan yang dibuang sembarangan pun juga banyak turut ambil bagian meramaikan kotornya sungai ini.

Sejak kecil bau kotoran telah menemani langkah-langkah hidupku. Meski begitu, tetap saja aku mendambakan dapat hidup dengan nyaman. Tanpa gangguan bau kotoran seperti hari-hari yang lalu, bahkan sampai sekarang. Tidak ada yang coba untuk menghentikan kedzoliman semacam ini. pemerintah kota pun juga tak pernah tanggap dengan hal ini.


Sebenarnya aku cukup atau bahkan sangat prihatin dengan hal ini. Masalah ini tidak hanya berdampak padaku saja. Tidak hanya masyarakat sekitar. Tapi juga soal Indonesia dimasa mendatang. Air sungai tak hanya digunakan untuk mencuci, namun juga digunakan untuk keperluan hidup banyak keluarga disekeliling bantaran sungai ndukuan. Mandi, menanak nasi, juga untuk diminum. Bagaimana generasi bangsa bisa maju kalau yang dikonsumsi sudah tercemar sedemikian rupa.



+_*_+

Anak-anak kecil sebayaku sedang asyik berenang disungai ndukuan yang penuh kotoran. Aku pun biasa ikut mereka menyelami kotornya sungai. Tapi entah kenapa, kali ini aku sangat malas untuk ambil bagian bersama mereka. Kudengar tawa menggelagar menunjukkan kebahagiaan mereka.


Tiba-tiba air dari langit menghujam kepalaku. Hujan turun, aku pun lekas berlari menuju rumahku yang sebenarnya lebih tepat dikatakan gubuk. Anak-anak yang sedang berenang riang pun juga segera menepi dan meninggalkan sungai, arena mereka menghasilkan senyum dari pahitnya hidup.



+_*_+

Merenung mungkin menjadi hal sangat tepat untuk ketidakjelasan hidupku. dari kecil telah hidup dibantaran sungai dengan segala kepahitannya. Kini, banjir memporak-porandakan gubukku. Dan puluhan rumah warga lain yang ada disekitar sungai. Hidup serasa tak adil bagi kaum miskin sepertiku dan umumnya warga disini.


Kami diungsikan ditempat seadanya. Tenda pun tak karuan. Tak ada pihak yang dengan kedermawanannya membantu kami. Apalagi pemerintah yang selama ini malah seperti telah menjadi musuh bagi kami sendiri. Kebijakan mereka lebih banyak menyudutkan kami. Rakyat kecil seperti aku, dan umumnya warga disini.


Aku selalu ngiler setiap kali melihat gedung menjulang yang ada di titik central kota. Betapa inginnya aku menikmati udara bersih dan sejuk. Juga menikmati ribuan barang terpajang yang tak mungkin terjangkau oleh isi kantong penjual surat kabar jalanan sepertiku.


Otakku tiba-tiba saja terbang mengawang di udara khayalan. Bagaimana keadaan yang terjadi di luar bumi. Apakah juga sesemrawut ini. Atau jauh lebih baik, atau bahkan jauh lebih buruk ? aku ingin sesekali membandingkan keadaan bumi dengan keadaan yang terjadi di planet lain. Tapi dengan apa ? tak ada bacaan dikoran yang menerangkan tentang kehidupan disana. Kurebahkan tubuhku untuk melepas penat hidup. Mimpi hidup sejahtera hanya akan menjadi sekedar mimpi. Dan terus menjadi mimpi. Mungkin !



+_*_+

Tak ada bangunan menjulang,  tak ada rumah-rumah penangkal hujan, tak ada pepohonan. Hanya tanah tak rata yang dapat dinikmati mataku. Tanganku masih digandeng makhluk yang bahkan aku tak pernah melihatnya sama sekali di bumi. Dan tempat ini, aku masih sangat asing. Aku hanya membayangkan ini seperti padang sahara yang dalam bayanganku tak ada satupun makhluk yang mampu hidup disana. Namun disini tak panas, udara sama seperti di bumi. Yang mengherankan, aku tak bisa meletakkan kakiku tepat diatas tanah. Aku serasa terbang seperti burung yang biasa melintasi udara di angkasa bumi.

Sumber gambar : Google.
Tanganku masih dalam genggaman makhluk yang tak ku kenali itu. Diajaknya melintasi awang-awang dengan kecepatan luar biasa. Terlihat segerombolan makhluk yang juga tak kukenali sedang asyik bergulat dengan ribuan penonton lengkap dengan sorakan penyemangatnya. Akhirnya aku mulai menebak-nebak untuk mendapat jawaban atas gumpalan pertanyaan yang menyumbat kepalaku. Inikah yang disebut akhirat ? jadi makhluk yang ada disini adalah malaikat ?

Aku mencoba mengesahkan kebenaran tebakanku sendiri bahwa inilah yang disebut akhirat. Tapi kenapa tak ada makhluk sepertiku ? Apakah aku diterbangkan oleh waktu untuk melintasi detikannya lebih cepat dari manusia yang lain? Hingga hanya aku sampai di akhirat lebih cepat. Ah, itu tak mungkin ! tapi mungkin-mungkin saja. Ah entahlah ! segera kututup pertanyaan dalam pikiranku tentang tempat apa ini, aku mencoba tak perduli ini akhirat, alam jin, atau istana langit. Aku ingin makhluk ini segera berhenti dan membiarkanku bertanya tentang apa yang mengganjal dalam kepalaku.


Tiba-tiba makhluk itu berhenti, seperti membaca pikiranku yang memang menginginkan seperti itu. Namun ia tetap diam. Seperti saat membawaku dari bumi menuju tempat ini. Aku pun harus mengambil celah diamnya untuk bertanya.


“Kau ini siapa sebenarnya dan untuk maksud apa membawaku kesini ?”


Dia menjawab. Aku tak tahu ia memakai bahasa apa. Namun aku paham apa yang ia bicarakan.


“aku makhluk dari dunia lain. Tapi bukan aku yang membawamu kemari. Tapi dirimu sendiri. Kau ingin tahu bagaiamana suasana di luar bumi. Dan seperti inilah jawabnya. Semua yang kau ingini bisa terpenuhi disini. Tanpa terkecuali”


“ha ! semudah itukah ? tanyaku terheran-heran.


“iya, apa perlu kubuktikan ? tantangnya pada ketidakpercayaanku.


“tentu, coba penuhi apa yang ku inginkan !”


Belum sempat aku menyebutkan inginku. Sebuah mobil mengkilap telah datang entah dari mana arahnya. Dan memang itulah yang aku inginkan. Aku sempat tak percaya. Tapi sulit juga untuk tak percaya kalau ini nyata. Makhluk ini tak membawaku kemari saat bermimpi. Namun membawaku saat dalam keadaan yang 100% sadar. Dan memang aku harus mempercayai hal ini. Dengan begitu mudahnya mereka mengeluarkan sesuatu yang mereka inginkan. Ah, mungkin aku akan sangat betah tinggal disini, kehidupan yang kontras dengan kehidupan di bumi. Lengkap dengan kemudahan yang ada. Kehidupan sejahtera.



+_*_+

Sungai ndukuan masih seperti dulu. Tak kunjung juga bersih, bahkan semakin kotor. Tanpa terasa aku meneteskan air mata. Memang aku sangat cinta dengan bumi. Dan tak bisa melihat bumi tercinta ini porak-poranda dengan ulah manusia yang tercipta sebagai khalifah bumi.


Aku mendapat apapun yang kuinginankan dalam singgahku beberapa waktu lalu di dunia lain. Namun kecintaanku pada bumi membuat lingkar kerinduan mengitari perasaan. Ada juga rasa bosan di tempat dimana semua keinginan terpenuhi. Tak ada kerja karena keinginan menjadi wujud kebenaran hanya dengan sekali kerlingan mata.


Terfikir di otakku kalau saja makhluk dari luar bumi itu kemari. Mungkin ia bisa membenahi bumi. Bukankah ia bisa mewujudkan apapun yang ia inginkan. Aku pun mulai memanggilnya dari dalam hati. Namun ia tak juga datang. Ah, bagaimana mungkin aku mengharapkannya datang. Sedang sebelumnya, ia datangpun tak jelas, dan mengembalikanku ke bumi pun dengan ketidakjelasan pula. Namun tak lama setelah pergolakan pikiranku sendiri, makhluk itu hadir disampingku dengan tiba-tiba.


Tanpa banyak membuang waktu. Aku pun mengutarakan keinginanku padanya. Namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kulihat pandangannya masih lekat menikmati air sungai yang penuh dengan kotoran. Aku mengira, ia sama sepertiku. Merasakan keprihatinan yang luar biasa juga.


Suara agak lirih keluar dari mulutnya.


“inikah bumi ?”


Aku tak menjawabnya dengan cepat. Aku membenarkan terlebih dahulu perkiraanku tentang keprihatinannya pada keadaan bumi.


“iya, inilah bumi. Dengan segala keporak-porandaannya” jawabku yakin agar ia bersedia mengeluarkan kekuatannya untuk membenahi bumi.


“ini dunia terindah yang pernah ku singgahi. Gedung menjulang, pepohonan, rumah, dan air. Hanya di sinilah aku melihatnya. Tak ada dunia yang yang menyediakan air, pepohonan, udara, api, tanah yang subur secara bersamaan. Sungguh luar biasa. Harusnya kau sangat bahagia menjadi makhluk bumi. Ini adalah anugerah yang diberikan bagi orang-orang yang beruntung”


Oh, ternyata salah besar. Makhluk dari dunia lain ini ternyata begitu takjub dengan bumiku, tanah tempat ku berpijak. Bumiku yang porak-poranda ini.


“tapi disini banyak exploitasi bumi yang merusak. Dan seharusnya bumi bisa jauh lebih indah dari ini" aku mencoba meyakinkannya untuk dapat membantuku membenahi bumi.


“tidak, ini kekuatan diluar kemampuanku. Hanya Tuhan yang mampu membenahi dengan sekejap mata. Maaf, aku tak bisa membantu, seharusnya engkau dan para sahabat manusialah yang harus membenahi dengan caranya sendiri. Karena itulah bukti tanggungjawab sebagai seorang khalifah bumi yang sebenar-benarnya. Aku yakin bumi ini akan semakin indah dengan tanggungjawab penuh yang dimiliki sahabat manusia”


Aku tercengang oleh ucapan makhluk dari dunia lain yang menyanjung bumi dengan begitu tingginya. Apa memang benar tak ada dunia seindah bumi. Aku tak tahu, yang pasti. Memang hanya disini segala hal terjadi dengan tanpa kekuatan sekali tunjuk. Mengejar mimpi dengan susah payah dan puas dengan pencapaian yang diraih. Semuanya berjalan dengan perlahan, tidak dengan sekali balik telapak tangan. Peluh keringat perjuangan yang menunjukkan penghargaan kepada waktu. Mungkin memang saat ini, detik ini, tak ada dunia seindah bumi.



Moti Peacemaker
Categories: ,

0 komentar :

Posting Komentar